“Indonesia Core” dan Pengadilan Rakyat Sang Pendakwah

Dari Pendakwah ke “Terdakwa”

Pernah dalam satu waktu, publik melihat bagaimana sebuah bentuk “pengadilan rakyat” diselenggarakan secara efektif oleh warganet di Indonesia. Ya, pengadilan rakyat atas terdakwa yang sudah ditentukan – sebagai individu yang dianggap telah melakukan kejahatan moral atau sosial. Ia adalah seorang pendakwah terkenal.

Bagi saya, fenomena ini menjadi menarik untuk ditelusuri lebih jauh karena menunjukkan bagaimana dinamika media sosial dapat mengubah ruang publik menjadi arena diskursus kolektif, tempat identitas, martabat, dan perlawanan sosial dibicarakan secara intens. Pengadilan ini berbuah dua putusan “hukuman pengasingan”: pertama, pengasingan atas eksistensinya di dunia maya, dan yang kedua, yakni pengasingan sang pendakwa  dari simpul kekuasaan. Tentu saja, sebagaimana pengadilan rakyat, peristiwa ini diwarnai oleh “penyampaian kesaksian dan bukti” yang lebih berfokus pada retorika dan persuasi (ketimbang bukti objektif) di beragam platform media sosial sebagai “ruang sidang”. Penyampaian kesaksian dan bukti oleh warganet di media sosial ini diekspresikan dalam bentuk retorika yang satirikal, parodikal, ataupun sarkastik sebagai bentuk-bentuk ekspresi yang sering digunakan untuk menyampaikan emosi tertentu. Hal ini juga sebagaimana pengadilan rakyat yang sering kali memang dipengaruhi oleh emosi massa dalam pengambilan putusan.[1]

Emosi massa ini juga tercermin dalam konten-konten yang beredar di media sosial. Hal yang tidak lepas dari pengamatan saya adalah konten yang diunggah oleh akun bernama Rajacore (@rajacore) di platform TikTok pada tanggal 6 Desember 2024, tepat 2 hari setelah sang pendakwah menemui sang  penjual es teh yang belum lama ia hardik. Konten tersebut menghimpun empat video dari empat konten kreator yang berbeda dalam bentuk split frame. Secara garis besar, empat konten tersebut memarodikan situasi detik-detik ketika sang penjual es teh dimaki lalu ditertawakan habis-habisan. Setiap video dimulai dari konten kreator yang memperagakan adegan menjual es teh, sebagaimana gestur sang penjual es teh dan kemudian diikuti oleh hadrikan sang penakwa   yang ikonik “Es teh mu isih ora? Masih? Yo kono didol gobl*g!” (“Es teh mu masih ada? Masih? Ya dijual sana bodoh!”). Menariknya, empat konten kreator ini memberikan respon yang berbeda – yang pertama merespon dalam dialek Makassar, “Na sund*la ine gondrong!…(dan seterusnya).”, kedua dalam dialek Medan; “Main kita yok!, nggak takut aku, memang aku tukang es, tapi punya harga diri aku!”. Ketiga dalam dialek khas “anak Jaksel”; “Gondrong anj*ng ini memang, bangor doang beli kagak, tol*l ini gondrong!”, dan keempat dalam dialek Betawi; “E buset gue malah dikatain beg* lagi, orang mah beli jangan ngata-ngatain gitu, ya elah. Elu kan guru, jangan cuma bacot jual lagi jual lagi ah!”. Di bagian tengah konten tersebut terdapat elemen teks “es teh core” sebagai “diskursus” yang menyatukan keempatnya. Es teh core menjadi sebuah diskursus yang tidak hanya memperhadapkan sang pendakwah  dengan penjual es teh di seluruh Indonesia, namun juga menempatkannya pada kursi pesakitan – “Anda sedang dalam pengadilan rakyat!”

“Core”: Suatu Diskursus di Media Sosial

Saya mengatakan “es teh core” sebagai diskursus oleh karena melalui itu kita bisa melihat bagaimana konsep tentang martabat atas penjual es teh diproduksi dalam bahasa dan praktik sosial di media sosial – bahkan jauh sebelum sang pendakwah   menyambil-lalukannya.[2] Dalam sebuah konten yang diunggah oleh akun FebriUcil_ (@ucilbaikhati06) pada di sekitar bulan Mei 2024 di platform TikTok, menampilkan seorang  pemuda penjual es teh keliling yang begitu kocak dan bersemangat dalam sebuah konser musik di kota Karanganyar. Dalam konten tersebut ia tampak menjajakan es teh yang sudah dikemas dalam gelas plastik lengkap dengan sedotan di atas nampan asongan berlubang yang diletakkan di atas kepala (disunggi) – sembari memekikkan kata-katanya yang ikonik “Sopo ngelak, aku bakul!, Haaaa!” (“Siapa yang haus? Saya penjual!”). Penjual es teh itu tidak lain adalah empunya akun, Febri Nur Irawan – pemuda asal Sragen. Secara reguler Febri menjajakan dagangannya di alun-alun Kota Sragen, namun Belakangan diketahui Febri kerap tampil mengasong es teh baik di konser-konser musik ataupun Sholawatan di berbagai kota di Jawa Timur. Konten Febri tersebut mendapatkan 15.099.865 interaksi, yang terdiri dari 15 juta likes, 5.865 komentar, dan 94.000 saved, serta telah dilihat lebih dari 24,8 juta kali. Konten tersebut juga dibagikan ulang secara masif dengan modifikasi wacana dalam caption, tagar (#hashtags), dan juga elemen teks dalam video “es teh core” (atau “bakul es teh core”). Hal ini pada akhirnya tidak hanya menginspirasi penjual es teh lainnya untuk mengunggah konten dengan tujuan solidaritas, namun juga warganet yang bukan penjual es teh untuk mengapresiasi, memberikan ruang makna bagi penafsiran ulang atas profesi yang selama ini marginal – dalam satu ikatan diskursus “bakul es teh core”.

Sebagai ekspresi kebahasaan yang berkembang secara non-formal, “core” sebagaimana yang melekat kepada “es teh core”, lazim dijumpai di media sosial sebagai diksi sekaligus akhiran setelah suatu kata kerja atau istilah/sebutan profesi tertentu – semisal “jualan core”, “horeg core”, “bakul core” (dan turunannya seperti “bakul es teh core”, “bakul mie ayam core”, dan lain sebagainya), “tukang core” (dan turunannya seperti “tukang ac core”, tukang bangunan core”, “tukang sound core”), atau “driver core” (termasuk “sopir core”, dan turunannya seperti “sopir ojol core”, atau “driver truk core”). Dalam “jualan core” misalnya, sebuah konten yang diunggah oleh akun Misucake (@sehatmuuntukmu), menampilkan visual seorang perempuan yang berjualan pastry dan cake di pinggir jalan sedari pagi hingga petang namun tidak terlalu laku. Konten ini disertai dengan elemen teks dalam video; “Sudah effort beli peralatan kayak gini itu yakin pasti laku. Buka jam 6 pagi sampai jam 5 sore, kagak laku njir! Udah paling betul pengangguran aja. Hahaha!”. Demikian pula akun Mendoan Uni Adiak (@mendoanuniadiak) yang mengunggah konten berupa visual gerobak yang sepi, dan disertai dengan elemen teks “Wah cuaca lagi cerah, semangat buat jualan hari ini! Tapi lama-lama ga mood karena sepi banget, masih sisa banyak hu hu. Apa gerobaknya gak kelihatan ya?”. Atau seorang penjual hijab bernama Sharah (@sharahaz_) yang ketiduran di tengah-tengah live streaming TikTok karena kelelahan, sedangkan penonton pada saat itu mencapai 1.000 orang.

Core” dalam bahasa Inggris memiliki arti inti, dasar, pusat, atau esensi. Core juga didefinisikan sebagai “bagian paling mendasar dan paling penting dari sesuatu” atau bagian dari sesuatu yang menjadi penting bagi keberadaan (eksistensi) atau menjadi pembentuk karakternya. “Core” sebagaimana yang melekat pada “hard core”, adalah sesuatu yang melekat, didedikasikan, dan menjadi inti dari suatu kelompok atau gerakan. Core dalam hal ini menjadi penentu eksistensi, sebab mengada, pembentuk karakter, dan dedikasi. Hal ini sebagaimana sang penjual es teh  yang ada “di sana” karena ia adalah bakul es teh, dan ia mendedikasikan dirinya untuk itu (sebagai bakul es teh) – “aku berjualan es teh, maka aku ada”, dan yang setipe – sebagaimana “aku mengirim paket, maka aku ada” (kurir core), atau “aku memperbaiki AC, maka aku ada” (tukang AC core). Core menjadi ekspresi peluh para kelas pekerja (baik formal maupun informal) dan pedagang kecil (usaha ultra-mikro), sebagai sebuah bentuk dedikasi – yakni komitmen atau upaya berkelanjutan yang menjadi “alat” penting dalam mengejar tujuan dan memperkuat keberadaan (eksistensi).[3] Dedikasi ini tidak hanya tentang bagaimana seseorang mencapai keberhasilan, namun kontribusi pada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, yang pada gilirannya menegaskan nilai dan martabat mereka sebagai manusia. Di dalam diskursus “core” inilah kehidupan (yang melekat di dalamnya eksistensi) dipertaruhkan, martabat diletakkan, dan  dedikasi dirayakan. Sebuah diskursus yang terbuka, di mana dedikasi para kelas pekerja dirayakan, saling berempati, mengapresiasi, menguatkan, mengeluh sekaligus tertawa. Dalam konteks sosial Indonesia, dedikasi tersebut memiliki makna yang dalam, terutama bagi para pekerja informal.

Upaya Gagal Memakzulkan “Indonesia Core

Per Februari 2023, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) di Indonesia mencapai 211,59 juta orang – di mana 146,62 juta orang (69,30%) di antaranya merupakan angkatan kerja, dan sisanya 64,97 juta orang (30,70%) bukan merupakan angkatan kerja. Dari penduduk angkatan kerja tersebut, 138,63 juta orang (94,55 %) aktif bekerja, sedangkan sisanya 7,99 juta orang (5,45%) merupakan pengangguran terbuka.[4] Dari penduduk yang aktif bekerja itu, 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17% di antaranya bekerja di sektor informal.[5] Pekerja sektor informal adalah individu yang terlibat dalam aktivitas ekonomi yang tidak terorganisir secara formal atau tidak diatur oleh hukum maupun kebijakan ketenagakerjaan. Pendeknya, pekerja informal adalah orang yang bekerja tanpa kontrak formal, tidak memiliki perlindungan sosial, dan sering kali tidak terdaftar secara resmi oleh pemerintah.[6] Di Indonesia, pekerja informal ini meliputi – namun tidak terbatas pada pedagang kaki lima atau pedagang kecil (ultra-mikro)/asongan, buruh tani, tukang bangunan, tukang servis mesin cuci/AC, sopir, termasuk penjual es teh sebagaimana Sonhaji atau Febri. Di samping pendapatan yang fluktuatif, pekerja informal juga mendapatkan perlindungan sosial yang kurang memadai – seperti asuransi kesehatan atau dana pensiun. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap risiko kesehatan atau kejadian tidak terduga yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk bekerja.[7] Belum lagi problem tidak adanya payung hukum atau akses ke layanan hukum yang sering kali membuat pekerja informal menjadi korban eksploitasi atau kejahatan. Tentu saja hal ini menjadikan dunia kerja sektor informal begitu keras – “hukum rimba” bisa terjadi kapan saja. Pagi pedagang kecil, situasinya bisa menjadi semakin runyam ketika daya beli kelas menengah (yang terkenal konsumtif) menjadi menurun. Dampaknya bisa sebagaimana yang dialami oleh kedua sobat bakul kita di atas, gerobak dan lapak menjadi sepi – seolah mendapat “kiriman” yang menjadikan gerobak tak terlihat oleh orang yang belalu lalang meski di pinggir jalan.

Diskursus “core” dalam hal ini menjadi “tempat berteduh” yang beroperasi di media sosial, bagi jiwa-jiwa yang kokoh dalam merayakan dedikasi, berkeluh kesah dalam gelak tawa, memperjuangkan martabat di tengah-tengah kehidupan yang dipertaruhkan. Namun yang jelas, sang pendakwah  tidak berada dalam diskursus ini. Di saat penguasa abai terhadap kerentanan pekerja informal dan gagal melakukan transformasi ketenagakerjaan dengan menciptakan lapangan kerja yang layak sehingga membuat kelas menengah semakin rentan, ia – sang pendakwah   justru menjadi kolaborator penguasa.[8] Sebagai utusan khusus presiden, ia merupakan salah satu aktor yang mendukung kelas penguasa. Sebagai agamawan – sebagaimana tesis Marx, ia memainkan peran dalam menciptakan dan mempertahankan kesadaran palsu (false consciousness) di kalangan kelas pekerja, sehingga mereka menerima kondisi penindasan mereka sebagai sesuatu yang wajar atau “dikehendaki Tuhan.”[9] Hal ini sebagaimana yang ia katakan tepat setelah ia menggoblok-goblokan sang penjual es teh: “Dol en disik, mengko nek ora payu yo wis takdir (hahhaha)…dungone ya tetep diijabah, es e ora payu tapi awak e sehat, mulih ndilalah bojone meteng, iku kan ya nikmat. Ditinggal bakul es kok meteng? kan banyak terjadi dimana-mana. Pokok e lek golek pemimpin ojok golek kurange tapi golekono apik e. Dadi ojolah ngelek-ngelek”.[10] Demikian ujarnya dari atas panggung, sembari berada di barisan terdepan di mana belakangnya duduk para politisi, birokrat, pejabat publik, dan agamawan sejawatnya.

Harapan sosok agamawan yang dengan ujarannya mampu mengokohkan jiwa di tengah kehidupan yang dipertaruhkan telah lelap. Kini yang merasa dikhianati dan diinjak martabatnya tidak hanya sang penjual es teh, melainkan 59,17% pekerja di Indonesia. Sang pendakwah tidak hanya harus berhadapan dengan “bakul es teh core”, namun juga dengan “jualan core”, “tukang AC core”, “driver core” dan seterusnya. Ujarannya memicu sentimen luas terhadap para pekerja informal. Hal ini terlihat dari beragam konten di media sosial yang menggunakan ujaran sang pendakwah sebagai simbol ketidakadilan struktural, termasuk konten yang diunggah oleh akun @rajacore di atas, dan juga sentimen negatif yang mencapai puncaknya pada tanggal 3 Desember 2024 di platform TikTok atas kata kunci “gusmiftah”. Dengan pekerja informal yang mencakup 59,17% angkatan kerja Indonesia, ujaran tersebut menjadi simbol bagi pengalaman kolektif mereka, mencerminkan perlakuan yang sering kali didapatkan pekerja informal dalam hierarki sosial-ekonomi. Bahkan ujarannya itu juga membuat 40.83% yang lain turut merasa disakiti dan dikhianati, karena ia telah memantati “Indonesia core” – sebuah diskursus di mana setiap kelas pekerja Indonesia mempertaruhkan kehidupannya, meletakkan martabatnya melalui bekerja, dan merayakan dedikasinya – semacam mentalitas atau etos kelas pekerja Indonesia. Oleh sebab itulah pengadilan rakyat perlu digelar.

Referensi

Aberth, W. A. V. P. (2024, October 1). Proporsi Pekerja Informal Indonesia Capai 59,17% di 2024. Goodstats.Id. https://data.goodstats.id/statistic/proporsi-pekerja-informal-indonesia-capai-5917-di-2024

Geller, J. (2014). Table Dancing in an Opium Den: Marx’s Conjuration of Criticism out of “Criticism of Religion” in 1844. Method & Theory in the Study of Religion, 26(1), 3–21. https://doi.org/10.1163/15700682-12341263

KADIN Indonesia. (2024). Ketenagakerjaan (per Februari 2024). https://kadin.id/data-dan-statistik/ketenagakerjaan/

Khalim, A., Salsabila, T., & Salamah, S. P. W. (2024). Refleksi Sosial dalam Cerpen Peradilan Rakyat Karya Putu Wijaya: Pendekatan Sosiologi Sastra. Literature Research Journal, 2(2), 76–85.

MacDowell, E. L. (2015). Reimagining Access to Justice in the Poor People’s Courts. Georgetown Journal on Poverty Law Policy, 22(3). https://ssrn.com/abstract=2655172

Martha Alter, C. (2012). The Informal Economy: Definitions, Theories and Policies (1; WIEGO Working Paper). https://www.wiego.org/research-library-publications/informal-economy-definitions-theories-and-policies/

Phillips, J. D. (1979). The Theory of Small Enterprise: Smith, Mill, Marshall, and Marx. Explorations in Economic History, 16(3), 331–340. https://doi.org/10.1016/0014-4983(79)90023-8

Safitri, K., & Prabowo, D. (2024, October 22). Dilantik Jadi Utusan Khusus Presiden, Gus Miftah: Tugasnya Bangun Komunikasi Internasional tentang Moderasi. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2024/10/22/12492161/dilantik-jadi-utusan-khusus-presiden-gus-miftah-tugasnya-bangun-komunikasi

Sibagariang, F. A., Mauboy, L. M., Erviana, R., & Kartiasih, F. (2023). Gambaran Pekerja Informal dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya di Indonesia Tahun 2022. Seminar Nasional Official Statistics, 2023(1), 151–160. https://doi.org/10.34123/semnasoffstat.v2023i1.1892

Toscano, A. (2010). Beyond Abstraction: Marx and the Critique of the Critique of Religion. Historical Materialism, 18(1), 3–29. https://doi.org/10.1163/146544609X12537556703070

Zhang, X. (2023). Study on Approaching Critical Discourse Analysis. Journal of Education, Humanities and Social Sciences, 7, 11–21. https://doi.org/10.54097/ehss.v7i.3998


[1] “Pengadilan rakyat” dalam tanda kutip, sebagai metafora atas proses peradilan nonformal yang umumnya merujuk pada mekanisme berbasis masyarakat untuk penyelesaian konflik yang beroperasi di luar kerangka hukum tradisional. Pengadilan-pengadilan ini sering menekankan aksesibilitas, partisipasi lokal, dan penyelesaian sengketa secara informal, sehingga mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pengadilan rakyat sebagaimana yang diungkapkan oleh MacDowell (2015), merupakan gerakan kultural yang mengupayakan akses keadilan sebagai praktik kontra-hegemonik, dan dapat berlanjut ke proses peradilan formal dapat pula tidak – bergantung kepada arah emosi massa atau tekanan publik. Pengadilan rakyat di sini sebagaimana cerpen “Peradilan Rakyat” karya Putu Wijaya, yang mengangkat tema sosial – politik, dan berbicara tentang buruknya situasi hukum di negeri ini akibat pengadilan (formal) yang kerap tidak berpihak kepada kebenaran. Lihat Khalim et al. (2024)

[2] Diskursus (discourse) atau wacana pada intinya mengacu pada komunikasi terstruktur yang menyampaikan makna melalui bahasa, baik lisan maupun tertulis. Wacana tidak hanya tentang kata-kata yang digunakan, tetapi juga tentang konteks di mana kata-kata itu berada, hubungan antara partisipan, dan praktik sosial yang membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Diskursus dapat dipahami sebagai suatu bentuk praktik sosial yang mencerminkan dan mengonstruksi realitas sosial. “Diskursus politik” misalnya, merupakan wacana spesifik yang mengartikulasikan gagasan dan juga ideologi politik, yang sering kali bertujuan untuk membujuk atau memengaruhi opini publik. Lihat Zhang (2023).

[3] Pada prinsipnya dalam pandangan Marx, “kelas pekerja” (working class) atau proletariat merujuk pada kelompok sosial yang tidak memiliki alat produksi dan, oleh karena itu, harus menjual tenaga kerjanya kepada pemilik modal (kapitalis atau bourgeoisie) untuk bertahan hidup. Adapun pengusaha kecil (UMKM misalnya), jika mengacu kepada hubungan mereka dengan alat produksi dan tenaga kerja masih tergolong bourgeoisie, atau setidaknya borjuis kecil (petite bourgeoisie). Namun demikian, dalam konteks pedagang kecil ataupun pedagang asongan, alat produksi ataupun modal yang mereka miliki tidak sepadan untuk bersaing dengan kapitalis besar. Pengusaha ultra-mikro dan asongan juga menghadapi risiko besar kehilangan alat produksi, yang dapat memaksa mereka bergabung dengan proletariat (proletarianisasi, misalnya jika bisnis mereka gagal). Pada gilirannya, pekerja upahan dan pengusaha mikro – ultra-mikro (pedagang kecil/asongan) memiliki kerentanan yang sama, menghadapi risiko dan struktur penindasan yang sama, lihat Phillips (1979). Untuk itu dalam tulisan ini – untuk kepraktisan dan kemudahan pemahaman, ke semuanya disebut sebagai kaum proletariat atau “kelas pekerja”.

[4] Lihat KADIN Indonesia (2024)

[5] Lihat Aberth (2024)

[6] Lihat Martha Alter (2012)

[7] Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa persentase penduduk miskin mempengaruhi persentase pekerja informal. Pekerjaan informal pada umumnya tidak memerlukan keahlian tinggi sehingga penduduk miskin dengan keahlian yang terbatas akan cenderung menjadi pekerja informal, sehingga pekerjaan informal adalah pekerjaan yang umum dilakukan penduduk miskin, lihat Sibagariang et al. (2023). Hal ini pada gilirannya akan mendudukkan sebagian dari pekerja informal sebagai “sub-proletar” – kelompok termiskin di antara kelas pekerja (the poorest group within the working class)

[8] Pada tanggal 22 Oktober 2024 Miftah Maulana dilantik menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, lihat Safitri & Prabowo (2024). Sebelumnya ia juga dikenal sebagai agamawan yang kerap membela penguasa ketika mendapatkan kritik.

[9] “Agama adalah Candu” agaknya menjadi kredo yang paling populer, sekaligus berpotensi reduktif untuk menjelaskan pandangan Marx terhadap agama. Marx mengkritik fondasi teologis yang mendukung rezim politik yang menindas. Pembacaan komprehensif atas karya-karyanya menunjukkan bahwa agama dapat berfungsi sebagai alat penindasan dan perlawanan, yang menyoroti peran gandanya dalam masyarakat. Meskipun dapat menenangkan massa, agama juga mewujudkan perjuangan dan aspirasi mereka untuk kehidupan yang lebih baik. Lihat Toscano (2010), dan Geller (2014).

[10] “Jual saja dahulu, nanti kalau tidak laku ya sudah takdirnya begitu (hahaha..). Doanya tetap dikabulkan, esnya tidak laku tetapi badannya sehat, pulang ke rumah tiba-tiba istrinya hamil, itu kan juga nikmat. Lho, ditinggal berjualan es kok tiba-tiba hamil? ya kan banyak terjadi yang seperti itu dimana-mana. Pokoknya kalau mencari calon pemimpin, jangan mencari (melihat) kekurangannya, tapi lihat kelebihannya. Jadi jangan menjelek-jelekkan”.

*)Tentang Penulis

Aditya Nirwana

Dosen Universita Ma Chung

20 Mobil Damkar Atasi Kebakaran di Bukit Duri

Sekarang

Bank Jakarta Dukung Persija Arungi Super League 2025-2026

Sekarang

Pak Mbois Kian Mbois, Kini Jadi Pendekar IPSI Kota Malang

Sekarang

20 Mobil Damkar Atasi Kebakaran di Bukit Duri

Sekarang