Palasari, Banjar Katolik di Bali
BALI— Ketika mendengar kata Bali, kebanyakan di pikiran orang adalah pulau indah dengan kebudayaan dan tradisi yang lekat seumpama tulang dan daging. Aroma dupa dengan canang di mana-mana. Pura dengan kekhasannya yang sangat elok dan sakral. Pantai dengan pemandangan matahari tenggelam yang cantik dan jadi buruan. Bahkan lanskap pegunungan yang indah.
Namun, di balik Bali yang lekat sekali dengan tradisi Bali dan agama Hindu, ada Banjar Palasari di Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali dengan mayoritas penduduknya yang beragama Katolik.
Banjar Palasari sendiri memiliki luas sebesar 124,48 km2. Berdasarkan data dari website resmi Desa Ekasari pada tahun 2022, Palasari memiliki penduduk sebanyak 132 KK. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani.
Dari sumber buku Ziarah Orti Rahayu (Kabar Sukacita) Bali, sebenarnya tempat berkembangnya Gereja Katolik di Bali adalah Desa Tuka, yang kemudian berkembang ke tempat lain yaitu Gumrih dan Palasari. Ketiganya menjadi tempat bersejarah bagi umat Katolik dan menjadi tempat berziarah untuk melihat kebesaran dan kemurahan Tuhan.
Mulanya Pastor Joanes Kersten, SVD, missionaris Katolik untuk pertama kali tiba pada tanggal 11 September 1935 lalu tinggal di Denpasar. Tugasnya hanya terbatas untuk melayani belasan umat Katolik Eropa atau melayu yang tinggal di Pulau Bali. Akan tetapi, rasa ingin tahu dari dua orang yaitu I Wayan Diblog dan I Made Bronong yang semula sudah berada di kelompok Kristen CMA Bali yang saat itu dilarang oleh Pemerintah Belanda di Betawi, membuat mereka akhirnya menemui Pater Joanes Kersten SVD di Denpasar dengan menggunakan alasan menjual buku yang kemudian berakhir pada diskusi soal agama Katolik. Setelah melewati perjuangan batin, pada Hari Raya Paskah 1936, secara resmi mereka diterima ke dalam pangkuan Gereja Katolik di Kapel Denpasar.
Perjuangan dan semangat besar kedua katekis muda ini dalam mewartakan Injil membuat banyak orang Bali yang percaya kepadanya dan meminta kepada Pater Kersten untuk diterima sebagai anggota Gereja Katolik.
Pater Kersten mengalami kondisi kesehatan yang kurang bagus, sehingga karya pelayanannya diteruskan oleh Pater Sinom Buis, SVD yang tiba di Singaraja, Bali pada tanggal 30 September 1936. Karena perkembangan umat Katolik di Tuka dan sekitarnya cukup pesat, maka Pater Simon Buis memutuskan untuk tinggal bersama umatnya, dan kemudian didirikanlah pastoran dan kapel di Tuka. Dari sinilah kemudian umat Katolik mulai berkembang dan hadir di Bali.
Singkat cerita, pada bulan November 1940, diberangkatkanlah dari Tuka 17 KK, 1 KK dari Beringkit, dan 6 KK dari Gumbrih menuju tanah yang diberikan sebagai pemukiman baru umat Katolik di wilayah Bali Barat, Palasari. Pater Simon Buis, SVD menjadi perintis berdirinya Paroki Palasari dan tinggal bersama para transmigran Palasari sampai tahun 1949.
Pengganti Pater Simon Buis, SVD adalah Pater B. Blanken, SVD yang meneruskan pembangunan Gereja Palasari dan diresmikan tanggal 13 Desember 1958 oleh Uskup Malang Mgr. Albert dengan nama pelindung Hati Kudus Yesus.
Adapun stasi yang masuk dalam wilayah Paroki Hati Kudus Yesus Palasari adalah Stasi Blimbingsari, Stasi St. Petrus Candikusuma, dan Stasi Gilimanuk. (ei).