Ketekunan Pemuda Buleleng Bawa Gamelan Rindik ke Pasar Ekspor

SINGARAJA- Pemuda Buleleng bawa Gamelan Rindik ke Pasar Ekspor. Itu dari ketekunan dan kerja keras I Gede Edi Budiana, pemuda asal Desa Alasangker, Buleleng, Bali melestarikan gamelan rindik bambu tradisional patut diacungi jempol.

Pemuda yang akrab disapa Edibud itu tak hanya menjaga warisan budaya leluhur. Ia juga membawa karyanya menembus pasar ekspor ke negara seperti Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.

Berbekal keterampilan tangan dan inovasi teknologi, ia mengubah bambu lokal menjadi instrumen bernilai seni tinggi yang memikat dunia.

Gamelan rindik, alat musik khas Bali berbahan dasar bambu, dikenal lewat nuansa alunan yang memengaruhi kondisi psiko-sosial pendengarnya.

Instrumen itu kerap menggambarkan suasana alam, pengalaman hidup, hingga romantisme. Edibud memadukan proses perakitan manual penuh ketelitian dengan sentuhan modern.

Ia menggunakan aplikasi tuner digital untuk menguji nada setiap bilah bambu, memastikan akurasi tangga nada selendro yang dikonversi ke diatonis.

“Pendengaran manusia tak sesensitif aplikasi. Ini membantu konsistensi kualitas,” ujar Edibud, di studio dE Percussion, Kota  Singaraja, Buleleng  mengutip InfoPubli.id.

Minat Edibud pada gamelan berawal dari kegemaran mendengarkan siaran radio dan upacara adat sejak kecil. Tahun 2016, ia memulai usaha dengan merakit rindik dari bambu bekas penjor (dekorasi upacara).

Hasil karyanya laku terjual Rp 300.000—langkah pertama menbisniskan warisan budaya. Setelah lulus kuliah ilmu komputer tahun 2018, ia pun kembali ke kampung halaman. Mendirikan workshop “dE Percussion” di selatan Kampus Fakultas Olahraga dan Kesehatan (FOK) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja.

Kini, bisnisnya berkembang dengan produk turunan seperti tingklik, angklung, suling, dan kulkul berbahan bambu pilihan: bambu Tabah (khas pegunungan Buleleng) dan bambu hitam dari Jawa. Prosesnya ketat: bambu direndam 2 bulan dalam larutan insektisida dan EM4 agar tahan rayap dan awet.

Pemasaran produk andalannya dipermudah lewat digitalisasi. Edibud memanfaatkan Instagram dan TikTok (@dE Percussion) untuk promosi, menjangkau pasar global. Kisaran harga rindik mencapai Rp 1 juta–Rp 8 juta per set, tergantung ukiran dan ukuran.

Permintaan tinggi datang dari luar negeri hingga kabupaten lain di Bali seperti Denpasar dan Karangasem. Untuk memenuhi pesanan, ia memberdayakan warga sekitar membuat bagian pelawah (struktur dasar) dan ukiran. “Prosesnya lama karena kami utamakan kualitas,” tegasnya.

Di balik kesuksesan ini, Edibud prihatin dengan minimnya regenerasi peminat gamelan rindik. “Banyak pemuda potensial memilih merantau karena faktor ekonomi,” katanya.

Namun harapannya tak pupus. Dukungan Dinas Pariwisata (Dispar)  Buleleng yang fokus pada pengembangan desa wisata seperti Julah, Mayong, dan Batu Ampar bisa jadi sinergi positif. Selama ini, Dispar Buleleng gigih menarik para pelancong dengan mengembangkan pelbagai atraksi budaya termasuk budaya dan ekonomi kreatif warga lokal.

Untuk itu, Kepala Dispar Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, berani menargetkan 1,7 juta wisatawan pada 2025. Jumlah itu terdiri dari 1 juta turis domestik dan 700.000 turis mancanegara.

Upaya Edibud membuktikan bahwa pelestarian budaya dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal bisa berjalan beriringan. Dengan ketekunan dan kerja keras, ia tak cuma menjaga identitas Bali, tapi juga membuka lapangan kerja dan mendorong Buleleng sebagai destinasi wisata berkelas dunia. (red) 

Keren Acara ASIK Kemerdekaan!

Pertama Kalinya  Digelar Pesantren Award 2025

Sekarang

Ketekunan Pemuda Buleleng Bawa Gamelan Rindik ke Pasar Ekspor

Inspirasi

Keren Acara ASIK Kemerdekaan!

Inspirasi

Operasi Modifikasi  Cuaca Berlangsung hingga 21 Agustus

Sekarang

Pertama Kalinya  Digelar Pesantren Award 2025

Inspirasi

Swakelola Revitalisasi Sekolah Mulai Berdampak Bagi Warga

Inspirasi