Jangan Abai! Kekerasan dan Pelecehan Seksual Terjadi di Dunia Pendidikan, Nanda Gudban Beber Fakta dan Strategi Penanganannya

MALANG– Jangan sepelekan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Juga hentikan segala bentuk kekerasan seksual di dunia pendidikan sekarang juga. Sebab dua masalah ini nyata terjadi bahkan mengkhawatirkan. Semua pihak harus saling sinergi dan turun tangan  atasi masalah ini.

Hal itu diungkapkan aktivis Perempuan Dr Ya’qud Ananda Gudban, SS, SST.Par, MM saat menjadi pembicara dalam Forum Diskusi Nasional bertajuk, ‘Pembentukan Karakter untuk Mencegah Kekerasan dan Pemeliharaan Kesehatan Mental di Lingkungan Pedidikan dari Berbagai Perspektif’, Rabu (30/4/2025) hari ini di Kampus Politeknik Negeri Malang.

Nanda mengawali pemaparannya dengan membeber data kekerasan dalam dunia pendidikan. Kekerasan di dunia pendidikan dari tahun 2023 hingga 2025  menurut dia,  menunjukkan peningkatan yang signifikan.

“Simfoni PPA mencatat 15.120 kasus kekerasan pada tahun 2023, naik lebih dari 50 persen dibandingkan tahun 2022. FSGI mencatat 36 kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari-September 2024, dengan kekerasan fisik dan seksual menjadi jenis yang paling banyak. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) juga melaporkan 293 kasus hingga September 2024, dengan kekerasan seksual sebagai jenis yang paling dominan,” beber Nanda.

Sesuai data Pusiknas,  periode Januari sampai 22 April 2025, kata Nanda, menunjukkan jumlah korban kekerasan seksual dan pornografi sebanyak 3.662 orang. Adapun jumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual yaitu 61,66 persen atau sebanyak 2.258 orang.

“Kekerasan seksual bisa terjadi di lingkungan kampus karena berbagai faktor. Di antaranya  relasi kuasa atau abuse of power. Selain itu,  kesenjangan kekuasaan antara pelaku dan korban, seperti antara dosen dan mahasiswa, guru dan murid seringkali menjadi pemicu kekerasan seksual,” urainya.
Selain itu lanjut Nanda, budaya pergaulan juga menjadi penyebab kekerasan seksual di lingkungan kampus. Itu berpotensi pada pergaulan yang tidak sehat dan merugikan.

Selain itu lanjut Nanda, penyebab kekerasan seksual di kampus juga bisa dipicu karena  faktor lingkungan berupa minimnya fasilitas kampus. Seperti kurangnya pencahayaan atau pengawasan di area tertentu, dapat menciptakan kesempatan bagi pelaku untuk melakukan tindakan kekerasan. Adanya kebebasan lingkungan  luar kampus yang tidak terkontrol baik perempuan maupun laki-laki.  

Dalam Forum Diskusi Nasional itu, Nanda juga mengingatkan bahwa  kekerasan sesama mahasiswa dapat terjadi karena berbagai faktor.  Ini  termasuk pengalaman buruk di masa lalu seperti menjadi korban bullying, pengaruh teman sebaya, dan kurangnya pengetahuan atau pendidikan mengenai kekerasan dan  norma sosial. Faktor lain yang juga berperan adalah adanya senioritas yang tak  sehat, ketidaksetaraan gender, dan kurangnya komunikasi antara pihak kampus dan mahasiswa.

Terhadap berbagai situasi dan persoalan yang dibebernya itu, Nanda lantas menguraikan langkah penanganan. Upaya mitigasi lanjut dia, bisa dimulai dengan kebijakan pendidikan tinggi.

“Kebijakan pendidikan tinggi yang jelas mengenai kekerasan seksual, termasuk SOP penanganan  kasus dan mekanisme pelaporan. Juga deklarasi atau komitmen tertulis dan program yang mendukung pencegahan kekerasan seksual,” ungkapnya.

Upaya lain yakni pendidikan dan kesadaran.  Pendekatan nilai agama terhadap mahasiswa kata Nanda  sangat penting. Agar mampu menghindari potensi kekerasan seksual. Selain itu pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi, serta kampanye kesadaran tentang bahaya kekerasan seksual, penting untuk meningkatkan pemahaman dan mencegah perilaku merugikan. Begitu juga tetap dibutuhkan pelatihan tenaga kependidikan untuk memahami pendekatan non-kekerasan dalam mendisiplinkan siswa.

Upaya lain lanjut Nanda,  yakni menjamin keamanan fisik dan emosional di lingkungan pendidikan melalui pengawasan yang ketat dan menciptakan suasana belajar yang nyaman. Menyediakan sarana dan prasarana yang ramah anak, seperti ruang konsultasi dan layanan hotline.  

Begitu juga pelatihan tentang pendekatan non-kekerasan dalam mendisiplinkan siswa.  “Pendidikan karakter yang efektif dapat membentuk moral dan perilaku siswa harus diprioritaskan,” katanya. 

Dengan menanamkan nilai-nilai seperti empati dan toleransi, siswa menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain dan lebih menghargai perbedaan. Sehingga mengurangi potensi terjadinya konflik dan kekerasan.

“Menanamkan nilai-nilai seperti empati dan toleransi, siswa menjadi lebih peka terhadap perasaan orang lain dan lebih menghargai perbedaan, sehingga mengurangi potensi terjadinya konflik dan kekerasan,” ungkap Nanda tentang gagasannya terhadap pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual.

Nanda yang juga Ketua Umum Komunitas Perempuan Peduli Indonesia (KoPPI)  ini merekomendasikan sejumlah upaya yang bisa dilakukan agar kasus-kasus  kekerasan dan pelecehan seksual tak terjadi lagi. 

Itu menurut dia  harus dijalankan lebih komprehensif, promotif, serta preventif.   Aparat penegak hukum pun menurut Nanda  harus sigap menangani kasus ini. Efek jera tidak hanya muncul dari seberapa berat sanksi yang diberikan tetapi juga seberapa cepat kasus itu dituntaskan. “Jangan sampai lambat penanganan sehingga muncul “No viral no justice,” pesan Nanda.  

Ia membeber kekerasan di sekolah dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Seperti perundungan atau bullying, perkelahian, tawuran dan kekerasan verbal.     “Terhadap kondisi-kondisi ini penting dan mendesak untuk upaya pencegahan. Seperti  pembentukan kebijakan  dan regulasi, pembentukan Tim Pencegahan Kekerasan dan Penguatan Tata Kelola serta menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung,” pungkasnya.  (red)  

Bupati  Malang Dukung Budaya Ndongeng

Sekarang

Harga Cabai di Kota Malang Kian Pedas, Sayuran Tak Stabil

Sekarang

Bupati  Malang Dukung Budaya Ndongeng

Budaya