Pasionis Muda Indonesia Diajak Ikut Seminar Pendidikan Seksualitas
MALANG– Biara Pasionis Beato Pius Campidelli Malang mengadakan seminar bertajuk, “Pentingnya Pendidikan Seksualitas Bagi Pasionis Muda Indonesia” di Gedung Pusat Spiritualitas Pasionis, Bandulan, Malang, Kamis (22/8/2024). Seminar ini diikuti 72 peserta, semuanya adalah frater Pasionis Muda Indonesia yang berasal dari berbagai kota di Indonesia.
Pimpinan Biara, Romo Pius Pandor, CP dalam sambutannya mengatakan bahwa seminar ini diselenggarakan sebagai upaya pembelajaran bersama bagi seluruh anggota Pasionis Muda Indonesia mengenai pentingnya pendidikan seksualitas bagi calon imam. Menurut Romo Pius, pendidikan seksualitas sangat penting diberikan dalam rangka formatio calon imam yang lebih komprehensip. Sehingga ke depannya tidak akan ada lagi persoalan-persolan tidak penting menyangkut seksualitas.
“Terima kasih saya sampaikan kepada narasumber yang berkenan hadir memenuhi undangan kami. Bapak Felik Sad Windu Wisnu Broto dan Bapak Aditya, narasumber yang menurut saya sudah pakar di bidangnya masing-masing. Sekali lagi kami bangga dan berterima kasih atas kerjasamanya selama ini,” katanya.
“Seminar ini sudah lama kami wacanakan dan baru kali ini kami wujudkan. Di sesi pertama Bapak Felik nanti akan memaparkan materi mengenai pentingnya pendidikan seksualitas bagi pasionis muda dan di sesi kedua Bapak Aditya akan memaparkan materi mengenai konten negatif dan kekerasan seksual dalam bingkai digital. Semoga seminar ini sungguh berarti bagi pasionis muda Indonesia” sambung Romo Pius.
Sebelum sesi pertama dimulai, Felik Sad Windu Wisnu Broto, SS, M.Hum dosen Universitas Ma Chung yang menjadi pembicara mengajak semua peserta yang hadir untuk ice breaking dengan menyanyikan sebuah lagu dan gerakan. Menurut Felik, pendidikan seksualitas itu sangat penting bagi para Pasionis Muda Indonesia, bagi para calon imam. Gereja sendiri meneguhkan pentingnya pendidikan seksualitas dalam beberapa dokumen gereja. Di antaranya ada dalam dokumen Pastores Dabo Vobis (1992) yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II. Dalam artikel 44, Paus menegaskan pentingnya formasi manusiawi dalam pendidikan seminari, yang mencakup pengembangan kedewasaan psikoseksual yang terangkum dalam materi pendidikan seksualitas.
“Pendidikan seksualitas bagi calon imam merupakan bagian dari formasi manusiawi yang lebih luas. Calon imam dididik untuk memahami dan mengintegrasikan seksualitas mereka dengan cara yang sehat, sebagai bagian dari identitas manusiawi mereka yang utuh. Ini melibatkan pengembangan kedewasaan emosional, kemampuan untuk membangun relasi yang sehat, dan pemahaman akan panggilan mereka untuk hidup dalam selibat,” urai Felik.
Diakhir sesinya, Felik menyampaikan bahwa Gereja Katolik melihat pendidikan seksualitas sebagai bagian dari pendidikan cinta dan formasi moral yang holistik. Pendidikan ini harus dilakukan oleh orang tua dengan dukungan dari institusi pendidikan dan Gereja, serta harus mengarahkan individu untuk memahami dan menghormati martabat seksualitas mereka sesuai dengan ajaran Kristiani.
Referensi-referensi resmi dari dokumen Gereja ada banyak. Di antaranya seperti Familiaris Consortio, Gravissimum Educationis, dan The Truth and Meaning of Human Sexuality. Felik berharap para peserta bisa secara mandiri mencari dokumen-dokumen tersebut dan mempelajarinya.
Di sesi kedua Aditya Nirwana, S.Sn., M. Sn., dosen Universitas Ma Chung menjelaskan materinya dengan judul konten negatif dan kekerasan seksual dalam lingkungan digital. Dalam paparannya Adit menjelaskan bahwa realitasnya kekerasan seksual berbasis online saat ini marak terjadi. Tindakan kekerasan seksual yang terjadi melalui platform digital atau internet bentuknya bisa berupa pelecehan, ancaman, penyebaran konten seksual tanpa persetujuan, pemerasan dan seterusnya. Dampak yang akan dialami oleh para korban di antaranya depresi, cemas dan ketakutan. Cenderung menarik diri dari kehidupan sosial dan kehilangan pekerjaan.
“Kekerasan seksual menurut UU TPKS Pasal 4 ayat 1, di antaranya adalah pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan lain-lain. Ada banyak sekali jenisnya,” jelasnya
“Sedangkan konten negatif menurut saya adalah segala bentuk konten yang dianggap merugikan, menyinggung atau memiliki dampak buruk terhadap individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Kita harus hindari kekerasan seksual dan konten negatif karena semuanya ada konsekuensi hukumnya” sambung Adit. (sadw)