Atasi Banjir, WALHI Minta Pemkot Malang Konsisten Sediakan 30 Persen RTH

MALANG- Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Pradipta Indra Ariono meminta adanya kebijakan tegas Pemkot Malang mengatasi banjir yang tak kunjung selesai masalahnya di Kota Malang. Ini disampaikannya dalam diskusi publik, kegiatan kolaborasi antara Fakultas Hukum Universias Widyagama dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengenai bencana ekologi di Kota Malang. Kegiatan berlangsung di Lantai 2, Perpustakaan Universitas Widyagama Malang, Sabtu (20/1/24).

Pradipta menilai bahwa orang-orang yang memiliki kuasa kebijakan turut memperparah kondisi banjir di Kota Malang maupun Malang Raya.  “Sejak Tahun  2003 Malang selalu mengalami banjir. Intensitas banjir itu yang kemudian harus kita lihat lebih luas. Kalau kita mau membaca lebih banyak, setiap tahun, kota Malang selalu mengalami kenaikan banjir. Angkanya cenderung naik turun. Titik awalnya tidak ada banjir, menjadi ada banjir. Kok makin hari semakin banyak titik genanangan di Kota Malang?” urainya.

Dilanjutkannya berdasarkan data yang diperoleh dari Pemkot Malang, hanya ada empat persen saja ruang terbuka hijau untuk publik di Kota Malang. 20 persen lainnya adalah ruang terbuka hijau privat. Seharusnya, ruang terbuka hijau untuk publik lebih luas dibanding privat.

Perlu ada kebijakan yang tepat untuk mengurangi ketimpangan tersebut. WAHLI  pun mendesak agar pemerintah bisa mengikuti peraturan perundang-undangan mengenai alokasi ruang terbuka hijau, yakni 30 persen.

“Jadi tidak hanya faktor alam, tetapi juga manusia. Di Kota Malang, pemanfaatan tata ruangnya buruk. Ada empat persen RTH publik, 20 persen RTH privat. Apa yang menjadi hambatan, karena urusan banjir ini tidak sekadar menyalahkan hujan,” terang dia.

WALHI banyak menemukan ada pelanggaran alih fungsi di Kota Malang. Perlu ada pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat, dan kesadaran dari pemerintah untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Hal-hal kecil yang berdampak lingkungan tidak bisa dipandang sebagai hal kecil semata, pasalnya, dampaknya bisa sangat besar di kemudian hari.

“Misal taman Malabar, Matos, MOG juga menggusur RTH di Kota Malang. Pada 2011, Pemkot Malang sudah punya komitmen, tapi pada faktanya tidak pernah belajar dari kesalahan administrasi atau jangan-jangan mereka berpihak pada kepentingan ekonomi daripada ekologis,” pungkasnya. (ran)

Sekarang

Begini Gerak Cepat DPRD Kota Malang Bahas RPJMD 2025-2029

Sekarang

Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi, Ini Upaya Polda NTT

Sekarang