Peneliti The Wahid Foundation Sebut HAM dan Konstitusi Wajib Jadi Pedoman Penyuluh dan Penghulu
JAKARTA–Peneliti The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar, mengatakan, penyuluh agama dan penghulu sebagai ujung tombak pelayanan keagamaan harus menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi sebagai pedoman utama dalam menjalankan tugas.
“Sebagai aparatur sipil negara, penyuluh dan penghulu wajib menjadikan konstitusi sebagai akidah dalam menjalankan tugas di lapangan. Ini penting agar tidak ada penyuluh yang membawa misi keagamaan yang eksklusif atau partisan,” ujarnya dalam Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) 2025 Nasional yang digelar Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama di Jakarta.
Menurut Alamsyah, penyuluh dan penghulu tidak hanya bertugas menyampaikan ajaran agama, tetapi juga melayani seluruh warga negara secara adil dan setara dalam bingkai hukum dan konstitusi.
“Konstitusi dan HAM adalah kerangka yang disepakati bersama dalam hidup bernegara. Ketika ASN bekerja berdasarkan itu, maka ia sedang menjaga fondasi kebangsaan,” jelasnya.
Alamsyah menambahkan, dalam prinsip HAM terdapat hak-hak yang bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun, seperti kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama. Hal ini tertuang dalam Pasal 18 Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.
Ia mencontohkan masih maraknya pelanggaran HAM di tingkat lokal, seperti pemaksaan agama, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan ujaran kebencian berbasis agama. “Kalau penyuluh tidak paham batas konstitusi, bisa jadi malah ikut melanggarnya,” tegasnya.
Alamsyah menyatakan, penyuluh dan penghulu adalah representasi negara yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga netralitas dan profesionalisme sangat penting dalam meredam potensi konflik sosial keagamaan.
“Penyuluh tidak boleh membawa misi kelompok atau ormas tertentu. Anda hadir sebagai negara. Jangan sampai karena keasyikan dakwah, malah menyulut konflik baru,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang mewajibkan Indonesia melaporkan pelaksanaan HAM kepada PBB setiap lima tahun. Menurutnya, kinerja ASN di tingkat lokal akan berdampak pada citra Indonesia secara global.
“Apa yang Bapak-Ibu lakukan di tingkat lokal akan berdampak pada citra Indonesia di mata internasional,” katanya.
Lebih jauh, Alamsyah mendorong peserta SPARK untuk memahami peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Undang-Undang ASN, Undang-Undang HAM, dan kode etik ASN Kementerian Agama. “Itu bukan sekadar aturan administratif, tapi etika kerja ASN yang menjaga integritas negara,” tegasnya.
Di akhir paparannya, Alamsyah menyampaikan bahwa toleransi bukan berarti menyamakan keyakinan, tetapi kemampuan hidup berdampingan dalam perbedaan tanpa menyakiti satu sama lain. “Moderasi bukan tentang menyeragamkan agama, tapi tentang menghormati hak orang lain untuk berbeda,” pungkasnya.
SPARK 2025 ini berlangsung berlangsung mulai 22 hingga 26 Juni 2025, diikuti 50 peserta terpilih dari 827 pendaftar dari berbagai daerah. (red)