Pemohon Tak Tanda Tangani Permohonan, Uji UU TNI Tidak Dapat Diterima
JAKARTA– Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Nomor 209/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) tidak dapat diterima, Kamis (27/11/2025) hari ini. Hal tersebut karena Mahkamah menemukan fakta tanda tangan para Pemohon sebagai pemberi kuasa, bukan tanda tangan basah (konvensional) melainkan tanda tangan yang dilakukan melalui proses pindai (scan). Dan bukan pula tanda tangan elektronik yang dilengkapi dengan meterai sekaligus tidak semua penerima kuasa membubuhkan tanda tangan dalam permohonan.
“Surat kuasa yang demikian tidak memenuhi syarat formil sebagai surat kuasa dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 7/2025. Akibatnya, penerima kuasa tidak sah menerima kuasa dari pemberi kuasa sehingga tidak sah mewakili kepentingan pemberi kuasa di Mahkamah,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Dia menjelaskan terhadap fakta hukum tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025), mempersyaratkan surat kuasa khusus dibubuhi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sedangkan, terhadap surat kuasa para Pemohon hanya ditandatangani melalui proses pindai (scan) sebagaimana diakui para Pemohon dalam persidangan Kamis (20/11/2025) hari ini dengan agenda perbaikan permohonan.
Menurut Mahkamah, makna frasa “ditandatangani oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa” sebagaimana termaktub pada Pasal 7 ayat (2) PMK 7/2025 adalah ditandatangani secara langsung oleh pemohon (prinsipal) dan kuasa hukum yang diberi kuasa dan tidak dimaknai dapat ditandatangani oleh orang lain, atau melalui proses lain seperti halnya proses pindai tanda tangan (scan). Artinya, tanda tangan pemberi kuasa dan penerima kuasa adalah berupa tanda tangan basah (konvensional) atau berupa tanda tangan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, surat kuasa yang demikian tidak memenuhi syarat formil sebagai surat kuasa dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PMK 7/2025. Akibatnya, penerima kuasa tidak sah menerima kuasa dari pemberi kuasa sehingga tidak sah mewakili kepentingan pemberi kuasa di Mahkamah.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah harus memastikan soal keabsahan dan tertib tanda tangan pada dokumen yang diajukan ke hadapan Mahkamah termasuk surat permohonan dan surat kuasa agar proses peradilan didasarkan pada dokumen yang absah secara hukum. Mahkamah memandang penting masalah ini karena jika permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, putusan Mahkamah bukan saja menimbulkan perubahan terhadap berlakunya suatu norma undang-undang, tetapi putusan tersebut mempunyai sifat mengikat terhadap umum, baik bagi setiap warga negara maupun lembaga negara (erga omnes).
Dengan konsekuensi putusan Mahkamah yang demikian, secara hukum tidak dapat diterima jika putusan Mahkamah berasal dari suatu dokumen yang mengandung masalah keabsahan dokumen. Berdasarkan hal-hal tersebut, oleh karena terdapat persoalan keabsahan surat kuasa para Pemohon yang menjadi dasar pengajuan permohonan a quo, secara faktual juga diakui para Pemohon dalam persidangan, maka permohonan para Pemohon haruslah dinyatakan tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan para Pemohon, namun oleh karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan, maka kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan,” kata Saldi.
Permohonan ini diajukan para advokat yaitu Marina Ria Aritonang, Yosephine Chrisan Eclesia Tamba, Syamsul Jahidin, dan Ratih Mutiara Louk Fanggi. Mereka menguji Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang selengkapnya berbunyi Pasal 47 ayat (1) UU TNI yaitu “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, pengelola perbatasan, kelautan dan perikanan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.”
Menurut para Pemohon, pasal yang diuji ini menimbulkan kewenangan yang luas serta menciptakan potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Papua yang masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, selain menduduki jabatan pada kementerian lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Keberadaan prajurit TNI dalam jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pengangkatan yang transparan dan berbasis kompetensi berisiko mereduksi netralitas birokrasi serta menghambat reformasi administrasi pemerintahan yang berbasis pada good governance. Kondisi tersebut juga berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi dalam sistem ketatanegaraan, karena memberikan keistimewaan kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa prosedur yang sama dengan warga sipil lainnya, yang secara substantif dapat menimbulkan ketidaksetaraan di hadapan hukum.
Karena itu, dalam petitumnya para Pemohon memohoh kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat atau (unconditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai, Pasal 47 ayat (1) “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga yang membidangi keamanan negara, pertahanan negara,termasuk Dewan Pertahanan Nasional, Intelijen Negara, Cyber, dan/atau Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Pencarian dan Pertolongan, Pengelolaan Perbatasan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung”. (Humas MKRI/red)















