Memori Oosterhuis di Alun-Alun Tugu
SEKARANGAJA– Selain Tugu sebagai ikon bernilai sejarah, ada struktur lain di Alun-Alun Tugu Kota Malang yang juga tak kalah menarik sejarahnya. Itu adalah tiga batu jenis andesit yang memiliki ukiran tulisan.
Jika datang ke Alun-Alun Tugu, tampak tiga batu ini bentuknya seperti batu untuk temoar duduk. Letaknya lurus dengan arah Balai Kota Malang. Batu ini adalah peninggalan Zaman Kolonial Belanda. Diamati seksama, pada tiga batu ini terdapat tulisan ‘Malang in Memory of’ kemudian terdapat tulisan, ‘Oosterhuis Bapak Tonko’ dan ‘Johan Jan.’
Dikutip dari laman Malangkota.go.id, pemerhati sejarah, Tjahjana Indra Kusuma mengatakan batu tersebut merupakan sebuah bangku kenangan yang dirancang ergonomis dan memiliki permukaan yang tak menggenang air saat hujan turun.
Namun lebih dari itu, batu tersebut memiliki makna yang lebih mendalam dalam sejarah Kota Malang. “Melambangkan sumbu imajiner Kota Malang. Dari balkon tempatnya berada, kita bisa melihat deretan tugu yang mengarah ke Jalan Suropati. Seperti halnya di Yogyakarta dengan Keraton, Tugu, dan Merapi, di Kota Malang ada sumbu imajiner dari balkon Balai Kota Malang,” jelasnya.
Ditambahkan Indra, dua bangunan setinggi 12 meter yang dulunya menjadi bangunan militer dan bangunan pemerintahan, dirancang secara strategis mengikuti sumbu imajiner ini. Jadi, ketika seorang wali kota memandang ke arah sana, sebelum adanya tugu, ada air mancur.
Selain itu, menurutnya juga terdapat korelasi antara tiga batu tersebut dengan sejarah keluarga Tonko Oosterhuis, Yohan Oosterhuis, dan Yan Oosterhuis. Karena keluarga tersebut dianggap memiliki hubungan emosional yang kuat dengan Kota Malang.
“Salah satu anak mereka, Johan Oosterhuis, meninggal pada bulan Juni 1945 di Lapas Lowokwaru. Johan ditangkap oleh tentara Jepang karena dianggap sebagai mata-mata karena ia sering menggunakan senter pada malam hari ketika ada pesawat terbang,” urai Indra.
Terlebih, kata dia, keluarga Oosterhuis awalnya merupakan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang bertugas di berbagai tempat di Indonesia. Seperti Kepulauan Alor Kalabahi, Waingapu, Cimahi, Surabaya dan Samarinda.
“Tonko Oosterhuis sendiri sangat mencintai Hindia Belanda dan bertugas di Batalyon Infanteri 8 Gerampal di Malang. Namun, saat invasi Jepang terjadi pada tahun 1942, Tonko ditahan di Surabaya,” jelasnya.
Lebih lanjut Indra menceritakan bahwa istri Tonko dan anak-anaknya dikumpulkan di interniran di Jalan Welirang Straat 43. Istri Tonko berasal dari Timor Timur dan mereka menikah saat Tonko bertugas. “Ada tanda kelahiran Kalabahi 1923 terukir di logamnya,” bebernya.
Karena itu, keluarga besar dari Tonko Oosterhius meminta izin kepada dinas terkait untuk memasang bangku tersebut di area publik pada Februari 2016 lalu. (ran)