Membakar Hutan Sama Artinya Merusak Tanda Keberadaan Tuhan
JAKARTA- Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar memberi pesan menohok akan pentingnya merawat lingkungan. Ia menegaskan bahwa alam adalah bagian dari tanda keberadaan Tuhan. Merusak alam berarti merusak tanda keberadaan-Nya.
Pesan ini disampaikan Menag Nasaruddin Umar saat merilis buku Ekoteologi, Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029, dan Trilogi Kerukunan, di Jakarta, Jumat (14/11/2025) hari ini.
Menag Nasaruddin Umar menyinggung pandangan para filsuf dan teolog, mulai dari Descartes, Plotinus, hingga Ibn Arabi, yang menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Menag Nasaruddin Umar menekankan pentingnya memahami konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (penampakan), agar manusia tidak terjebak melihat alam semata sebagai bentuk fisik.
“Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu punya batin—punya ‘jawhar’—kita tidak mungkin merusak alam. Membakar hutan sama artinya merusak tanda keberadaan Tuhan,” tuturnya.
Menag Nasaruddin Umar juga mengutip sejumlah tradisi besar seperti Islam, Hindu, Taoisme, dan filsafat klasik untuk menunjukkan bahwa hampir semua ajaran agama mengandung etika ekologis.
“Alam adalah partner, bukan objek. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kalau engkau mati, aku mati,” tegasnya.
Ia mengapresiasi Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM (BMBPSDM) Muhammad Ali Ramdhani yang meluncurkan buku pengantar ekoteologi. Dia berharap ke depan lahir karya yang lebih komprehensif untuk mengurai hubungan manusia–alam–Tuhan dalam perspektif moderasi beragama.
“Jika pemahaman puncak ini terwujud, akan muncul kesadaran global untuk menjaga bumi. Semakin cepat alam rusak, semakin cepat pula tanda-tanda kehancuran datang. Mari kita menunda kiamat dengan menjaga lingkungan,” pesan Menag Nasaruddin Umar.
Kepala BMBPSDM, Muhammad Ali Ramdhani, menambahkan, peluncuran tiga buku ini merupakan bagian dari mandat besar Kementerian Agama. Langkah ini juga sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 244 Tahun 2025.
“Penyusunan tiga buku ini telah melalui proses panjang, mulai dari pengumpulan data, penulisan, Focus Group Discussion (FGD), dan pembacaan ulang. Setiap tahapan melibatkan akademisi, peneliti, aktivis lingkungan, tokoh agama, analis kebijakan, hingga kementerian dan lembaga (K/L) lintas sektor,” tuturnya.
Kehadiran buku Ekoteologi: Menguatkan Iman, Merawat Lingkungan, diharapkan dapat menjadi pedoman implementatif bagi Kementerian Agama dan mitra terkait; sekaligus memperkuat kesadaran dan komitmen bersama dalam merawat hubungan harmonis manusia, Tuhan, dan alam juga sebagai rujukan komunikasi bagi berbagai program berbasis ekoteologi.
“Peluncuran ekoteologi dan peta jalan moderasi beragama ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi Kementerian Agama dalam mengarusutamakan spiritualitas ekologis dan kerukunan lintas agama dalam pembangunan nasional,” katanya menutup laporan. (red)















