Mahasiswa Malaysia Belajar Kuliner dan Batik di Kampung Budaya Polowijen
MALANG– Mahasiswa Malaysia belajar kuliner dan batik di Kampung Budaya Polowijen (KBP). Sebanyak 19 mahasiswa Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) berkunjung dan asik belajar budaya kuliner Malang dan Batik di KBP. Ini terekam asik dalam program cross cultural study.
Mereka datang dari jurusan Food Biotechnology, namun yang mereka temui bukan hanya ilmu tentang makanan. Melainkan juga warisan budaya yang hidup di tengah masyarakat Jawa.
Sejak tiba, para mahasiswa langsung disambut hangat warga kampung. Penggagas KBP Isa Wahyudi atau akrab disaap Ki Demang bersama budayawan Malang Mbah Karjo juga mengajak mereka berdiskusi budaya tentang relasi budaya Jawa dan Melayu yang sudah perpuluh abad lamanya. Mbah Karjo Bercerita tetang Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
“Indonesia dan Malaysia ini negara serumpun karena memiliki akar budaya, sejarah, dan keturunan yang sama, terutama berasal dari rumpun Melayu yang mempunyai kesamaan bahasa, adat budaya dan ragam keseniannya,” ungkap Ki Demang.
Kuliner yang dikenalkan sarat budaya dan adat Indonesia seperti Sego Berkat, hidangan khas berwadah besek beralaskan daun pisang. Nasi dengan urap, ayam, tahu, tempe, dan sambal ini ternyata membuat mereka penasaran. Tidak hanya soal rasa, tetapi juga filosofi yang terkandung di dalamnya.
Tak berhenti di situ, sajian polo pendem—singkong, ketela ungu, kacang, hingga gembili rebus—membawa mereka pada pemahaman baru. Makanan sederhana ini ternyata mengandung pesan filosofis: kesederhanaan, kedekatan dengan bumi, dan pengingat asal-usul kehidupan manusia.
Ditambah jajanan pasar seperti cenil, lopis, klepon, hingga horog-horog, pengalaman kuliner mereka menjadi lengkap.
“Makanan tradisional seperti ini punya kekayaan rasa dan makna. Kalau kita ingin menarik minat masyarakat modern, kita harus inovasi dalam pengolahan dan pengemasan, tapi tetap menjaga nilai gizi dan kebersihannya,” ujar Syarifah, mahasiswi Jurusan Food Biotechnology USIM.
Para mahasiswa juga diajak mencicipi minuman tradisional: beras kencur, kunir asem, dan wedang uwuh. Rasanya unik, segar, sekaligus menyehatkan.
Selain kuliner, mereka disuguhi Tari Topeng Malang Grebeg Sabrang yang dibawakan oleh penari muda Belinda Princessa Arvarochim. Kegiatan pun berlanjut dengan mewarnai Topeng Panji, yang mengejutkan mahasiswa Malaysia karena ternyata kisah Panji juga hidup di negeri mereka.
“Cerita Panji itu ibarat jembatan kultural antara Jawa dan Malaysia. Panji mengajarkan nilai cinta, kesetiaan, dan perjuangan, yang bisa melintas batas negara dan zaman. Ini bukti bahwa budaya serumpun punya akar yang sama,” tutur Ki Demang.
Tak ketinggalan, mahasiswa juga mencoba membatik dengan canting dipandu oleh Rabindra Annesa Danesjvara. Bagi mereka, ini pengalaman pertama melihat bagaimana malam panas ditorehkan di kain. Mereka pun baru tahu bahwa meski Malaysia juga punya batik, Batik Indonesia diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Kunjungan singkat itu akhirnya menjadi perjalanan penuh makna. Dari sepiring nasi berkat, sepotong klepon, hingga selembar kain batik, para mahasiswa Malaysia belajar bahwa kuliner, seni, dan tradisi bukan sekadar identitas—tetapi juga cara untuk memahami, merawat, dan menyatukan budaya serumpun.
19 mahasiswa Malaysia inipun menyempatkan “medayoh” berkunjung ke rumah rumah warga sambil beteur sapa dan memberikan oleh oleh khas malaysia yang berupa makanan dan gantungan kunci. Ini sebagai tanda kasih antara Malaysia dengan Indonesia warga Kampung Budaya Polowijen. (cia)