Kolom Agama dalam KTP Kembali Digugat di MK

JAKARTAKolom agama dalam KTP kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon perkara ini Taufik Umar. Ia beralasan kolom agama dalam KTP mengakibatkan meningkatnya risiko keselamatan sehingga merugikan hak konstitusional pemohon.

Taufik Umar mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU   Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagaimana telah diubah dengan UU 24/2013  ke MK.

“Itu dokumen publik yang bisa diakses umum itu rawan untuk terjadinya ancaman terhadap hak hidup selain dan minimalnya adalah diskriminasi,” ujar Teguh Sugiharto,  kuasa Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan secara daring dari Ruang Sidang MK, Jakarta Rabu (3/9/2025) hari ini.

Pemohon Perkara Nomor 155/PUU-XXIII/2025 ini mengaku salah satu korban sweeping KTP yang terjadi selama konflik di Kabupaten Poso beberapa waktu silam.

Pemohon mengaku mengetahui banyak orang terluka hanya karena status agama di KTP yang dibawanya saat terjadi sweeping. Sedangkan tidak ada kesempatan untuk melakukan white lie karena yang tercantum di KTP yang diyakini kebenarannya guna membedakan kawan atau lawan.

Pemohon mengatakan adanya kolom agama di KTP termasuk Kartu Keluarga (KK) pernah membahayakan keselamatannya di lokasi kerusuhan. Menurut Pemohon, risiko tersebut bisa saja terulang kembali, setidak-tidaknya timbul perlakuan diskriminasi.

Pasal 61 ayat (1) UU 23/2006 berbunyi, “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua”.

Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 berbunyi, “KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.”

Sementara itu, Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016. MK menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.

Pasal-pasal yang diuji tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena negara tidak melakukan upaya yang cukup bahkan turut menjadi aktor yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan ancaman terhadap hak hidup.

Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah.

Karena itu, dalam petitum, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata agama dan kepercayaan tidak dihapuskan.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam sesi penasehatan, para hakim mengatakan Pemohon dapat menyusun permohonan dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025).

Selain itu, Guntur mempertanyakan Pemohon yang mempersoalkan kolom agama dalam KK. Pemohon menguraikan ancaman ketika adanya kolom agama di KTP karena dikaitkan dengan kejadian tindakan sweeping terhadap KTP, sedangkan Pemohon tidak menjelaskan alasan agar kolom KTP juga dihapuskan dari KK.

“Supaya menunjukkan ini itikad baik bahwa tidak ada ini kami punya niat untuk menghilangkan agama dan kepercayaan, kan begitu. Karena yang di-sweeping kan selama ini kan yang Bapak bawa itu KTP, sehingga bisa fokus pada Pasal 64 saja,” tutur Guntur.

Sebagai informasi, Teguh Sugiharto sebelumnya juga pernah menjadi kuasa dari Raymond Kamil dan Indra Syahputra sebagai Pemohon dalam Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024.

Permohonan itu pada pokoknya juga menginginkan kolom agama di KTP dan KK dihapuskan. Sementara itu, MK menolak permohonan tersebut. Mahkamah mempertimbangkan pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi. (humas mk/red)

Kolom Agama dalam KTP Kembali Digugat di MK

Sekarang

Kerugian Aksi Anarkis di Jakarta Capai Rp 80 Miliar

Sekarang

Kolom Agama dalam KTP Kembali Digugat di MK

Sekarang

DPRD Kota Malang Cari Solusi Atasi Beban Belanja Daerah

Sekarang