Kolegium di Bawah Kemenkes Rawan Dimanfaatkan untuk Kepentingan Kekuasaan
JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Sidang Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Djohansjah Marzoeki, beragenda mendengarkan keterangan Ahli yang dihadirkan oleh MK. Sidang lanjutan yang dilaksanakan pada Selasa (14/10/2025) ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama para hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
MK menghadirkan Gandes Retno Rahayu sebagai ahli. Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dalam keterangannya menyebutkan, pada umumnya Kolegium pada negara-negara di dunia tidak berada di bawah Kementerian Kesehatan. Sebab hal demikian akan berpotensi bahaya pada standar dan kualitas karena akan terdapat konflik kepentingan dan politisasi standar. Dalam hal ini standar kompetensi/ujian dapat terdorong mengikuti prioritas politik, bukan keselamatan pasien dan bukti ilmiah.
Selain itu, dapat pula menyebabkan turunnya independensi ilmiah bahwa dengan pembaruan kurikulum berbasis evidence menjadi lambat karena birokrasi.
Kemudian keberadaan ini juga akan mengikis prinsip self‑regulation profesi dan etika kedokteran; due process dan keadilan disiplin melemah karena adanya risiko campur tangan pada kasus sensitif/berprofil tinggi. Kepercayaan publik dan rekognisi internasional menurun karena sertifikasi yang terlalu pemerintah sentris sulit diakui lintas negara. Inovasi dan respons kurikulum terhambat akibat sulit mengadopsi bidang baru dan risiko monokultur kebijakan yang berdampak pada hilangnya checks and balances dan umpan balik kritis dari profesi.
Oleh karenanya, sambung Gandes, terdapat potensi bahaya dua sistem pendidikan dokter. Yakni fragmentasi standar dan kualitas, tumpang tindih kewenangan, kebingungan publik, pengakuan dan mobilitas internasional terganggu, duplikasi biaya dan sumber daya manusia dan sulit menyelaraskan pendidikan, pelayanan, riset. Itu karena agenda riset dan guideline menjadi terbelah sehingga kebijakan kesehatan masional kurang konsisten.
“Maka keberadaan Pasal 451 UU 17/2023 telah meniadakan Kolegium yang dibentuk oleh organisasi profesi tanpa evaluasi sistematis dan menisbikan peran besar yang telah dilakukan selama ini. Hal ini dapat menimbulkan risiko strategis terhadap mutu pendidikan dan pelayanan saat ini dan ke depan,” tegas Gandes.
Lebih jelas Gandes menandaskan bahwa dalam kondisi ideal, Kolegium harus bersifat independen yang dapat bermakna bebas dari intervensi, tekanan, intimidasi politik dan kekuasaan serta melakukan perannya berbasis pada bukti ilmiah.
Namun dengan adanya norma pada UU Kesehatan, maka Kolegium merupakan kelengkapan konsil. Sementara Konsil Kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan yang rawan dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 dalam pengujian materi UU Kesehatan diajukan Djohansjah Marzoeki, seorang dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga.
Pemohon mengujikan Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b UU Kesehatan.
Pada sidang Pendahuluan di MK, Selasa (27/8/2024) lalu, kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah.
Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoritarian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domain profesi dan bukan domein pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran. Namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah.
Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran. Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah.
Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
Dalam petitum, Pemohon antara lain meminta MK menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. Sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. (Humas MKRI/red)
- Djohansjah Marzoeki gugat UU Kesehatan
- Gandes Retno Rahayu Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada
- Gugat UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
- Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo
- Kolegium dokter di bawah Kemenkes rawan disalahgunakan
- Mahkamah Konstitusi
- UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan















