Dari Pengantar Jemaah hingga Menjadi Wamenag: Kisah Pelayanan Haji Romo Syafi’i
JAKARTA– Suara Wakil Menteri Agama (Wamenag) Dr KH Romo H.R. Muhammad Syafi’i bergetar saat mengenang pertama kali ia menjejakkan kaki di Tanah Suci. Kala itu, tahun 1995, usianya baru menginjak 36 tahun. Bukan sebagai pejabat, bukan pula sebagai tokoh penting. Ia hanya seorang jemaah biasa—yang sebelumnya, selama bertahun-tahun, hanya bisa mengantar para calon haji dari Medan.
“Saya menangis tersedu-sedu ketika pertama kali melihat Ka’bah,” kenangnya dalam pertemuan hangat bersama para petugas PPIH di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.
Tangis itu, kata Romo Syafi’i, bukan hanya karena rasa haru, tapi karena terbayang perjuangan Rasulullah SAW. Ia teringat betapa kerasnya jalan dakwah Nabi, bagaimana beliau berjuang menyampaikan risalah di tengah penolakan dan tekanan. “Tangisan itu terus berlanjut saat saya di Arafah, juga Muzdalifah,” lanjutnya dengan mata berkaca.
Tak banyak yang tahu, di haji pertamanya itu, Romo Syafi’i langsung dipercaya menjadi Wakil Ketua Rombongan (Wakarom). Ia melayani puluhan jemaah yang sebagian besar sudah lanjut usia. Dia tak duduk diam atau memberi perintah. Ia ikut memanggul koper, memastikan semua jemaah naik ke bus di Jeddah, hingga tiba di Mekah dalam kondisi selamat. Bahkan di tengah suhu ekstrem nyaris 50 derajat Celsius, ia tetap bertugas meski tubuhnya tak kuat hingga mengalami mimisan.
“Saya niatkan diri saya untuk melayani. Itu saja,” katanya lirih.
Barangkali karena ketulusan itulah, perjalanan hidup Romo Syafi’i tak berhenti di satu kali haji. Ia diberi kesempatan oleh Allah untuk kembali ke Tanah Suci berkali-kali—dalam berbagai peran dan kapasitas.
Pengalaman spiritual yang ia rasakan selama berhaji menumbuhkan sebuah keyakinan yang kini menjadi filosofi hidup dan pelayanannya: bahwa tidak ada satu pun ucapan, tindakan, atau niat manusia yang luput dari pengawasan Allah.
“Setiap hati kita, perbuatan kita, perkataan kita—semuanya dilihat, dicatat, dan akan dibalas oleh Allah,” ujarnya tegas di hadapan ratusan petugas haji.
Itulah prinsip yang selalu ia pegang, bahkan saat kini menyandang jabatan tinggi sebagai Wamenag. Ia mengaku kerap dianggap terlalu vokal, terlalu berani. Tapi, menurutnya, itu bukan soal keberanian. “Saya hanya tak bisa menyembunyikan kebenaran. Kebenaran harus ditegakkan,” katanya mantap.
Menjelang akhir sambutannya, suasana kembali syahdu. Romo Syafi’i menatap satu per satu para petugas PPIH yang hadir. Ia tahu, tugas mereka berat. Tapi juga mulia.
“Melayani tamu Allah yang merindu. Lalu kita bantu mereka melepas kerinduan itu untuk bertemu dengan-Nya. Tak semua orang mendapat kesempatan ini,” ucapnya pelan, namun penuh makna.
“Semoga dengan keikhlasan yang Bapak-Ibu tanamkan, Allah akan membalasnya dengan apa yang selama ini menjadi impian kita,” sambung Romo Syafi’i.
Saat itu, banyak mata yang ikut basah. Bukan hanya karena kisah Romo Syafi’i yang menyentuh, tapi karena mereka tahu, jalan menuju ikhlas adalah jalan yang tak selalu mudah. Tapi justru di situlah letak kemuliaannya. (Humas Embarkasi Jakarta/red)