Sumur Maut di SDN Madyopuro 1, Saksi Bisu Pejuang Kota Malang Meregang Nyawa Demi Pertahankan Kemerdekaan RI   

Di belakang gedung SDN Madyopuro 1 Kota Malang terdapat sebuah  sumur tua. Sudah tak berfungsi lagi. Itu bukan sembarang sumur. Tapi saksi sejarah. Tempat 11 pejuang meregang nyawa, mempertahankan kemerdekaan RI.  Mereka warga sipil asli Madyopuro dan anggota laskar pejuang.

Bentuk sumur itu hanyalah berbentuk setengah lingkaran. Sudah dicat bagus, terdapat tumpukkan batu. Itulah  monumen walau terkesan sederhana. Penanda monumen adalah dua tanda peresmian. Pertama kali  diresmikan Wali Kota Malang Soesamto pada 22 Agustus 1996. Tanda kedua penanda peresmian renovasi monumen pada 18 Februari 2001 oleh Eddy Rumpoko yang kala saat itu Ketua PD GM FKPPI Jawa Timur.

Siapa pun  yang melihat monumen ini bisa bergetar perasaannya. Begitulah tempat peristirahatan terakhir 11 pejuang kemerdekaan Indonesia pada September 1947. 

11 pejuang ini gugur mempertahankan Madyopuro dari serangan Belanda. Jenazah mereka kemudian dimasukkan dalam lubang sumur tersebut. Beberapa sumber menduga kerangka para pejuang itu  masih terkubur dalam sumur ini  sampai sekarang.

Dari plakat peresmian  yang berada tepat di tengah monumen  diketahui  bahwa sumur ini saksi bisu  11 orang pejuang kemerdekaan RI dibantai secara kejam oleh serdadu Belanda.

Beberapa nama yang diketahui tertulis  dalam plakat. Mereka adalah Dulmanan, Ponimin, Suwadi, Samaun, dan tujuh orang lainnya tidak dapat dikenali nama lagi.

Persis  di depan bangunan  SDN Madyopuro 1 juga dibangun sebuah monumen. Bentuknya tiga buah bambu runcing berdiri tegak. Terdapat tulisan, “Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami”.  

Halaman depan sekolah SDN Madyopuro 1 disebut-sebut juga tempat pembantaian dan kuburan massal. Selain menjadikan sumur di belakang sekolah sebagai kuburan pejuang, serdadu Belanda juga menggunakan halaman sekolah untuk kuburan massal.

Di monumen bambu runcing ini tertera nama-nama pejuang yang gugur di halaman sekolah. Terdapat juga plakat peresmian tugu peringatan yang dibangun pada 3 April 1996 oleh Wali Kota Malang pada saat itu, Soesamto.  

Pemerhati Sejarah Kota Malang Mochamad Antik  menjelaskan tentang perjuangan warga sipil Madyopuro ini. Ia membenarkan jika kawasan SDN Madyopuro 1  dulunya ladang pembantaian warga sipil dan pejuang kemerdekaan pada tahun 1947 silam.

“Dulu SD itu Sekolah Rakyat. Peristiwa berdarah  terjadi pada Kamis Pon ygang bertepatan pada Tanggal 17 September 1947.  Sebenarnya tidak ada catatan pasti tentang jumlah korban yang jatuh pada saat itu,” kata  pria yang akrab disapa Antik ini.

Antik yang sempat membuat narasi penelitian terkait sejarah perjuangan warga Madyopuro ini pernah menggali informasi dari seorang saksi mata peristiwa kelam itu. Namanya Ali, warga asli setempat.

Menurut catatan Antik, saksi mata bernama Ali mengatakan sekitar kurang lebih 100 orang terlibat dalam perlawanan melawan Belanda saat itu.

Dikatakan pula sebanyak 11 orang jenazah pejuang sipil maupun anggota laskar pejuang dimasukkan dalam sebuah sumur. “Versi lain ada yang mengatakan 13 orang, ada juga yang bilang 14 orang dalam sumur. Yang jelas sumur memang tempat pembuangan jenazah waktu itu,” terangnya.

Selain sumur, Antik melanjutkan yang lain dimakamkan secara massal di halaman sekolah tersebut. Sementara yang lain juga dimakamkan massal di Lapangan Madyopuro. Lapangan itu saat ini menjadi halaman Kantor Kelurahan Madyopuro.

Menurut penuturan Ali yang didengar Antik, pembantaian terjadi sekitar pukul 11 siang. Namun ada pula yang mengatakan perlawanan pecah mulai pukul 1 siang. Tiga hari sebelum peristiwa itu terjadi, para pejuang dan penduduk membuat Madyopuro menjadi wilayah berbarikade.

Warga sipil bersama laskar pejuang membuat barikade di tengah jalan dengan menumbangkan pohon-pohon besar di pinggir jalan. Ini sebagai bentuk perlawanan  mempertahankan wilayahnya.

Keesokan harinya Belanda menyerang Madyopuro. Tujuannya menangkap para pejuang yang diduga bersembunyi di Madyopuro

“Pada serangan ini konon cukup banyak korban di pihak laskar pejuang dan penduduk sipil yang gugur. Sayang tidak diketahui pasti mengenai jumlah korban. Belanda datang dari arah Tumpang dan memasuki Madyopuro sekitar jam 9 pagi pada Kamisnya,” terang Antik menuturkan hasil penilitiannya.

Sebelum kejadian pecah, tentara Belanda datang dari Tumpang berjalan kaki. Mereka membawa ratusan tawanan pejuang dan penduduk sipil. Para tawanan itu dibawa ke area gedung Sekolah Rakyat, sekarang SD Madyopuro 1 itu.

Sekitar 100 tawanan yang diduga pejuang dibawa ke belakang sekolah. Lalu disuruh berdiri berjejer di tembok menghadap ke timur.  Sedangkan sekitar 200 warga sipil dan pejuang lain di Madyopuro dikumpulkan di halaman sekolah. Barulah sekitar pukul 13.00 WIB para pejuang itu diberondong tembakan oleh serdadu Belanda.

“Nama-nama yang dikenal 14 orang yang tercantum di sumur maut dan tugu itu. Selebihnya tidak dikenal penduduk setempat karena para pejuang itu ditangkap dari berbagai wilayah berbeda. Sedangkan 200 warga sipil  digiring ke markas Belanda di Rampal. Pukul 3 sore mereka baru dilepaskan,” ceritanya. 

Setelah itu mayat  pejuang yang dikenal diambil keluarganya untuk dikebumikan. Seperti Supingi dimakamkan tak jauh dari lokasi kejadian. Lalu atas nama Tambar dan Samud dimakamkan di Kebalen. Lalu Pada tahun 1957 kerangka korban yang dimakamkan masal di halaman sekolah SR dan lapangan Madyopuro dipindahkan ke TMP Untung Suropati.

Meski begitu, Antik memastikan 11 pejuang yang berada di dalam sumur kerangkanya tidak pernah diangkat atau dipindahkan. (ran)

Sekarang