Uji UU Pemilu, Pemohon Ingin Mencalonkan Anggota DPR Non Parpol Politik

JAKARTA- Koordinator Nasional Presidium Fraksi Rakyat sekaligus Ketua Yayasan JAKI Kemanusiaan Inisiatif Yudi Syamhudi Suyuti mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang Pendahuluan Permohonan Nomor 233/PUU-XXIII/2025 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Kamis (4/12/2025) hari ini.

Pasal 240 ayat (1) huruf n UU Pemilu menyatakan, “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu”.

Pada permohonannya, Yudi menceritakan berniat untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2029 sebagai perwakilan dari organisasi masyarakast sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Yang mendasari maju menjadi calon anggota legislatif nonpartai politik, karena didasari persoalan fundamental, yaitu agar terbentuknya saluran rakyat warga langsung dengan perwakilannya di DPR untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam hal pembuatan undang-undang, pengesahan anggaran, dan praktik pengawasan yang bukan bersifat usulan-usulan,” terang Yudi.

Menurut pengamatan Yudi, sistem ketatanegaraan Indonesia belum cukup terwakili fraksi rakyat yang terdiri dari perwakilan kelompok lintas agama, kelompok lintas etnis, kelompok profesi, organisasi masyarakat sipil, dan organisasi kemasyarakatan.

Selain itu, aspirasi dan partisipasinya pun masih belum banyak dapat terserap dengan baik oleh DPR dan fraksi partai-partai politik. Keterbatasan tersebut sangat wajar, karena fraksi-fraksi partai politik (parpol) tidak sepenuhnya mewakili kelompok dan golongan warga Indonesia. Sehingga, masih banyak aspirasi dan suara rakyat yang tertinggal dalam penyelenggaran negara, melalui proses legislasi, penyelenggaraan kuasa anggaran, dan pengawasan.

Yudi berpendapat keberadaan pasal yang dimohonkan pengujian tersebut yang mensyaratkan calon harus menjadi anggota partai politik merupakan suatu bentuk Inkonstitusional dan tidak dapat menjamin stabilitas, kemajuan, keadilan, dan berkelanjutannya negara menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan pertahanan secara demokratis dan inklusif.

Oleh karena itu, dalam Pasal 240 Ayat (1) huruf n seharusnya secara konstitusional dalam persyaratan calon anggota dewan yang mensyaratkan adalah anggota partai politik atau perwakilan dari kelompok-kelompok masyarakat, komunitas, golongan rakyat hingga individu yang dipilih partai politik peserta pemilu dan perorangan dari perwakilan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas.

Di luar perwakilan partai politik yang lolos ambang batas, maka perwakilan kelompok, golongan rakyat dan perwakilan perorangan ditempatkan di dalam fraksi rakyat di lembaga DPR, sehingga seluruh rakyat Indonesia memiliki saluran politiknya tidak ada satupun suara rakyat yang tertinggal.

Dalam petitum, Yudi memohon agar Mahkamah mengubah Pasal 240, Ayat (1) huruf n UU Pemilu tersebut menjadi, anggota partai politik peserta pemilu dan bukan anggota partai politik yang merupakan perwakilan lintas agama, kelompok masyarakat sipil, LSM, ormas, golongan rakyat, individu perorangan yang dicalonkan partai politik sebagai perwakilan kelompok, komunitas, golongannya untuk mengisi fraksi rakyat selain dari fraksi partai politik.

Berikutnya Pemohon juga memohon agar Mahkamah memerintahkan kepada DPR dan Pemerintah untuk memasukkan norma dalam putusan ini menjadi Undang-Undang untuk digunakan di Pemilu 2029.

Nasihat Hakim Panel

Dalam nasihat Sidang Panel, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan perlu bagi Pemohon mencantumkan kewenangan Mahkamah dalam menguji permohonan ini.

“Kemudian terkait permohonan ini harus lebih banyak menguraikan dengan berlakunya pasal ini Saudara mengalami kerugian, faktual atau potensial. Lalu uraikan pasal ini kenapa bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka harus dikontestasikan dengan pasal yang menjadi batu uji,” nasihat Ridwan.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Arsul Sani meminta Pemohon untuk melihat putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon guna mempelajari syarat formil yang telah terpenuhi dari sebuah permohonan uji undang-undang.

“Bagaimana merumuskan alasan permohonan, supaya punya ide serta bagaimana petitum dalam permohonan yang dirumuskan. Ini penting dan baca pula PMK 7/2025,” jelas Arsul.

Sementara itu Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan nasihat tentang perlunya Pemohon untuk memperhatikan kedudukan hukum sebagai warga negara dengan identitas sebagai pemilih, pembayar pajak, atau sebagai ketua dari asosiasi.

“Jika sebagai bagian dari organisasi ini, maka harus ada AD/ART yang menjadi landasan. Lalu mengapa mengalami kerugian dari berlakunya norma ini, jika tidak bisa dijelaskan maka permohonan ini dapat dinyatakan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) atau tidak dapat diterima,” jelas Saldi.

Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 17 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan. (Humas MKRI/red)

Tertibkan Penelantaran Bedak Pasar di Kota Malang

Sekarang

Tertibkan Penelantaran Bedak Pasar di Kota Malang

Sekarang