UIII Rilis Kerangka Ekonomi untuk Indonesia Tanggap Iklim Menuju Emisi Nol Bersih
DEPOK– Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dengan dukungan ViriyaENB merilis inisiatif KOMITMEN (Kerangka Ekonomi untuk Indonesia Tanggap Iklim Menuju Emisi Nol Bersih).
Inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat kerangka kebijakan ekonomi makro dan fiskal Indonesia di tengah tantangan perubahan iklim. Program ini dirancang untuk memperkuat kerangka kebijakan ekonomi Indonesia dalam merespons tantangan perubahan iklim.
“KOMITMEN merupakan respons akademik UIII terhadap kebutuhan mendesak Indonesia untuk mengintegrasikan pertimbangan iklim dalam kebijakan ekonomi,” ungkap Teguh Yudo Wicaksono, Direktur Program Komitmen UIII saat peluncuran program KOMITMEN di UIII, Cimanggis-Depok.
Peluncuran program tersebut dilakukan melalui diskusi publik yang menghadirkan beberapa pembicara. Selain Teguh Yudo Wicaksono, pembicara lain mencakup Suzanty Sitorus (Direktur Eksekutif ViriyaENB), Jamhari Makruf (Rektor UIII), Dian Masyita (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIII), Philips J. Vermonte (Dekan Fakultas Ilmu Sosial UIII), Surabi Menon (Global Insights & Action, ClimateWorks Foundation), Rima Prama Artha (Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIII), Sonny Mumbunan (Fakultas Ilmu Sosial, UIII) dan Michiel Schaeffer (Climate Analytics).
Teguh menyampaikan bahwa KOMITMEN tidak hanya menghasilkan kerangka teoretis, tetapi juga instrumen praktis yang dapat digunakan pengambil kebijakan untuk menghadapi tantangan transisi energi.
Inisiatif ini sangat relevan mengingat komitmen Indonesia untuk mencapai net-zero emission dan kebutuhan transformasi ekonomi yang memerlukan investasi masif serta koordinasi lintas sektor.
“Melalui pendekatan kolaboratif, KOMITMEN diharapkan dapat memecah silo kelembagaan dan menciptakan sinergi antara kebijakan ekonomi dan target iklim nasional,” ujarnya.
Sejumlah lembaga internasional seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Network for Greening the Financial System (NGFS) telah memberikan peringatan bahwa perubahan iklim dapat berdampak buruk bagi perekonomian, menyebabkan kerugian signifikan, serta memberikan tekanan pada sumber daya negara untuk pembangunan.
Setidaknya ada dua risiko yang timbul akibat perubahan iklim dan risiko-risiko ini harus dimitigasi dengan baik, yaitu risiko fisik dan risiko transisi. Risiko fisik, seperti kenaikan muka air laut, banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem, kini semakin sering terjadi.
Selain itu, risiko transisi juga muncul sebagai akibat perubahan kebijakan, teknologi dan faktor lainnya yang akan berdampak signifikan bagi perekonomian. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar tentu berada di garis paling depan dalam menghadapi risiko-risiko perubahan iklim ini.
Inisiatif KOMITMEN ini, kata Teguh, hadir untuk menjawab setidaknya tiga kesenjangan penting dalam kebijakan ekonomi iklim Indonesia. Pertama adalah kesenjangan kebijakan (policy gap). Kesenjangan kebijakan ini meliputi masih belum cukupnya instrumen kebijakan makroekonomi yang tanggap terhadap iklim. Selain itu, kebijakan ekonomi masih cenderung terfragmentasi, terutama antara kebijakan moneter dan fiskal.
“Di saat bersamaan orientasi kebijakan ekonomi cenderung berfokus pada jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak iklim masa depan,” jelasnya.
Kesenjangan kedua adalah kesenjangan metodologi (methodological gap). Kesenjangan ini meliputi masih minimnya metode dan cara yang cukup solid untuk menilai dampak perubahan iklim terhadap nilai asset. Padahal perubahan iklim dapat mengancam stabilitas makroekonomi sebagai akibat anjloknya valuasi asset yang terjadi secara mendadak (seperti halnya stranded assets) sebagai akibat kebijakan atau perubahan iklim.
Kesenjangan terakhir adalah kesenjangan koordinasi (coordination gap). Kesenjangan ini meliputi kompleksitas transformasi ekonomi menuju emisi nol bersih yang memerlukan aksi terkoordinasi lintas pemangku kepentingan. Kolaborasi yang luas untuk memecah ego kelembagaan mutlak diperlukan. Elemen penting lain yang juga diperlukan mencakup pelibatan yang beragam dengan pemangku kepentingan, termasuk mereka yang berada di daerah-daerah rentan iklim.
“Semua hal tersebut bertujuan untuk memastikan solusi yang berkeadilan dan sesuai konteks Indonesia,” tegas Teguh.
KOMITMEN menjalankan empat tujuan strategis yang saling terkait:
1. Kerangka Makroekonomi dan Fiskal Tanggap Iklim. Pilar ini akan mengembangkan riset dan analisis mengenai kerangka makroekonomi dan fiskal yang tanggap dan secara eksplisit mengintegrasikan risiko iklim. Elemen penting pilar ini juga mencoba memahami dinamika politik ekonomi kebijakan perubahan iklim. Secara teknis, pilar ini akan melakukan permodelan makroekonomi untuk melengkapi upaya-upaya yang telah ada dengan mempertimbangkan kedua risiko perubahan iklim, yaitu risiko fisik dan transisi.
2. Metode Valuasi Aset Terdampak (Stranded Assets). Dalam pilar ini, UIII akan menyusun metodologi yang mampu menilai aset “berisiko” yang terdampak perubahan iklim (stranded asset) dan transisi energi. Aktivitas ini akan dilakukan melalui penelitian atas asset yang berisiko mengalami penurunan nilai secara tajam akibat perubahan iklim.
3. Pengembangan Kapasitas (Capacity Building). Pilar ini bertujuan untuk membangun kapasitas para pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, dan akademisi dalam hal pemahaman isu-isu ekonomi iklim.
4. Kolaborasi antar Pemangku Kepentingan dengan memfasilitasi diskusi publik, penelitian kolaboratif, dan dialog kebijakan. Hal ini dilakukan untuk memastikan pendekatan dan kajian bersifat partisipatif dan inklusif. (red)